Rabu, 29 Agustus 2012

PELUANG DAN TANTANGAN PENGEMBANGAN AGRIBISNIS TANAMAN OBAT RIMPANG


PELUANG DAN TANTANGAN PENGEMBANGAN
AGRIBISNIS TANAMAN OBAT RIMPANG  
( I )

Oleh :
Agus Sukmadjaja
Widyaiaswara Madya

Pengembangan tanaman rimpang sebagai tanaman obat tradisional  di Indonesia masih mempunyai prospek yang sangat cerah untuk masa depan, jika dilihat dari permintaan  pasar baik pasar  domestik maupun pasar ekspor, total pasar domestik obat herbal senilai 4 Triliun dan pasar ekspor US $ 30 – 40 juta pada tahun 2005 (Kimia Farma, 2005). Oleh karenanya perlu ditangani lebih terarah untuk dapat menghasilkan produksi dan mutu hasil yang tinggi serta berkesinambungan.  Untuk maksud tersebut usaha taninyapun haruslah menggunakan teknologi maju dan dikelola secara profesional, efektif sejalan dengan kaidah Budidaya yang baik dan benar/Good Agriculture Practicies (GAP), agribisnis dan agroindustri.
Kunci utama untuk penumbuhan usaha agribisnis adalah penguasaan target pasar yang jelas, kemampuan bersaing dari produk sejenis, mutu, harga, pelayanan dan kontinyuitas suplai. Agribisnis dengan skala menengah hingga besar memerlukan tambahan persyaratan kualitas produk yang memenuhi skala ekonomi dan penyediaan produk secara kontinyu.
Berbagai peluang dan tantangan yang dihadapi dalam rangka pengembangan agribisnis tanaman obat rimpang ke depan diantaranya adalah ketersediaan lahan  usaha, sumberdaya manusia, kelembagaan petani, peluang pasar serta tantangan yang dihadapi yaitu ketersediaan permodalan, teknologi budidaya, penyediaan benih, serangan organisme pengganggu tanaman, perubahan iklim, kontinyuitas pasokan produk, standardisasi produk, serta kemampuan daya saing produk.

A.  PELUANG PENGEMBANGAN AGRIBISNIS
TANAMAN OBAT RIMPANG

            Seperti yang telah disebutkan diatas bahwa peluang dalam pengembangan agribisnis tanaman obat rimpang dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Lahan Usaha
Tersedianya lahan-lahan potensial untuk  pengembangan hortikultura khususnya tanaman obat rimpang, yang mencakup lahan tegalan/kebun, lahan yang tidak digunakan (terlantar), lahan pasang surut, maupun lahan perkebunan terlantar.  Pada tahun 1998 tercatat lahan tegalan seluas 8.383.599 ha, lahan ladang seluas 3.179.213 ha, dan lahan yang sementara tidak digunakan seluas 7.335.586 ha.  Walaupun lahan tersedia cukup luas namun tingkat kesuburan umumnya rendah,
            Hasil penelitian penulis tahun 2001 yang dilakukan dibeberapa sentra tanaman obat rimpang  pada tingkat petani, luas lahan yang digunakan untuk tanaman obat khususnya jahe berkisar antara 0,25 – 1,0 Ha, hal ini merupakan potensi yang cukup baik untuk pengembangan di Jawa Timur. Potensi lahan tanaman obat selain ditanam di kebun juga di lahan pekarangan dimana potensi lahan pekarangan di Jawa Timur seluas 593.859 Ha. Kemudian ditinjau dari aspek agronomi tanaman obat, kondisi lahan, iklim, tanah, curah hujan di Jawa Timur sangat menunjang.
            Dengan demikian potensi lahan usaha untuk tanaman obat di Jawa Timur merupakan satu kekuatan.

2.   Sumber Daya Manusia
            Faktor yang mendukung pengembangan tersebut selain besarnya potensi kekayaan sumberdaya alam sebagai sumber bahan baku simplisia yang dapat diformulasikan menjadi obat tradisional, kemudian keikutsertaan segenap lapisan masyarakat/petani tanaman obat, penjual, pemakai maupun masyarakat lain yang secara langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan tanaman obat tradisional sangat penting.
            Ditinjau dari aspek jumlah, sebaran serta kualitas penduduk/petani maka masalah sumberdaya manusia sebagai pelaku utama pengembangan agribisnis tanaman obat di Indonesia relatif cukup menunjang. Jumlah penduduk yang cukup besar dalam posisi penyebaran merata akan sangat menunjang untuk pengembangan agribisnis tanaman obat.

3.   Kelembagaan Petani
            Kelembagaan yang sudah tumbuh di tingkat masyarakat petani di pedesaan atau yang dinamakan kelompok tani memiliki potensi yang sangat besar menjadi pendamping dan penggerak bagi tiap usaha tani. Peranan kelompok tani sangat strategis dalam mengembangkan skala usaha agribisnis yang lebih  ekonomis dan efisien. Untuk itu dalam rangka pemberdayaan petani sebagai pelaku utama agribisnis khususnya tanaman obat rimpang, perlu menumbuh kembangkan kelompok tani disertai pembinaan secara langsung di lapangan dan bertahap sampai kelompok tani tersebut mampu mandiri.
           
4.   Pemasaran
            Mekanisme pemasaran tanaman obat selain di dalam negeri untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri (pabrik jamu, racikan, industri rumah tangga pembuatan obat tradisional), tanaman obat juga ditujukan untuk memenuhi permintaan dari luar negeri (ekspor).
            Dilihat dari permintaan pasar baik permintaan dalam negeri maupun ekspor, prospek pemasaran tanaman obat terutama jahe mempunyai peluang pasar yang cukup baik. Data dari PT. Jamu Jago yamg disampaikan pada pertemuan forum komunikasi agribisnis tanaman obat di Jakarta (2000) bahwa daya serap satu industri jamu, misalnya dari PT. Jamu Jago terhadap tanaman berkhasiat obat mencapai sekitar 3.090 ton pertahun. Perkembangan industri jamu di Jawa Timur juga cukup pesat, sampai dengan saat ini ada 56 perusahaan yang bergerak dalam industri obat tradisional atau jamu dengan kebutuhan bahan baku tanaman berkhasiat obat. Cukup besar permintaan jahe Indonesia di pasar internasional yang selalu meningkat setiap tahunnya, data tahun 1981 – 1989 menunjukkan rata – rata peningkatan mencapai 43,17%. Sedangkan perkembangan ekspor jahe segar  Jawa Timur mulai tahun 1995 – 1999 perkembangan ekspor meningkat sebesar 60,47% setiap tahunnya (Laporan tahunan Diperindag Prop. Jatim, 1999).

6.   Peluang Ekspor
            Pengembangan ekspor tanaman obat di Indonesia umumnya dan Jawa Timur khususnya mempunyai prospek yang sangat cerah. Peluang ekspor sangat terbuka lebar untuk tingkat Asia maupun Eropa. Namun demikian dalam pelaksanaannya terdapat kendala – kendala dalam usaha menembus pasar luar negeri yang meliputi kualitas dan kontinyuitas produk, persaingan harga dan pengolahan hasil produksi.
            Berdasarkan data ekspor tanaman obat menurut negara tujuan ekspor, maka Hongkong merupakan pasaran utama tanaman obat Indonesia, karena mempunyai nilai ekspor yang paling besar, walaupun nilai setiap tahunnya berfluktuasi. Rata – rata ekspor tanaman obat ke Hongkong setiap tahun sebesar 730 ton dengan nilai sebesar US $ 526,6 ribu. Dengan tingkat pertumbuhan ekspor tiap tahunnya mencapai sebesar 29,7% untuk volume dan 48,2% untuk nilai. Ekspor terbesar kedua adalah ke Singapura, dengan rata – rata ekspornya setiap tahun mencapai 582 ton dengan nilai sebesar US$ 647 ribu dan tingkat pertumbuhan ekspornya mencapai 1,3% untuk volume dan 13,4% untuk nilai. Jerman merupakan tujuan ekspor terbesar ketiga, dengan tingkat ekspor setiap tahunnya mencapai sebesar 155 ton dengan nilai sebesar US$ 112,4 ribu. Sedangkan tujuan ekspor tanaman obat Indonesia berikutnya adalah ke Taiwan, Jepang, Korea Selatan dan Malaysia. (Chanisah. S, 1995).
            Dengan melihat perkembangan ekspor baik tingkat nasional maupun regional, maka peluang ekspor untuk tanaman obat sangat menjanjikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar